Terdapat berbagai gaya kepemimpinan yang dapat dipraktikkan untuk mengembangkan potensi anggota organisasi yang berdampak pada kemajuan organisasi, termasuk organisasi pendidikan. Untuk memahaminya secara mendalam, kita dapat menarik banyak pelajaran dari dunia luar seperti film, musik, dan sepak bola. Melalui tulisan ini, saya mencoba memberikan secuil perspektif dalam memahami teori kepemimpinan dalam konteks pendidikan.
Kepemimpinan Transformasional dalam Film: Remember the Titans
Salah satu teori kepemimpinan yang sering dibahas adalah transformational leadership, yaitu kepemimpinan yang mampu menginspirasi dan memotivasi perubahan positif dalam individu maupun organisasi. Teori kepemimpinan transformasional dicetuskan MacGregor Burns pada tahun 1978. Bernard M. Bass mengembangkan teori tersebut pada tahun 1985. Teori ini menekankan pentingnya pemimpin mengambil peran menginspirasi dan memotivasi para pengikutnya untuk mencapai tujuan bersama, namun tetap fokus pada perubahan positif dan pengembangan individu. Pemimpin transformasional tidak hanya berusaha mencapai target, tetapi juga mengubah cara berpikir, nilai, dan perilaku pengikut, sehingga mereka termotivasi untuk melampaui kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok atau organisasi.
Dalam film Remember the Titans (2000), kita dapat melihat Coach Herman Boone (diperankan oleh Denzel Washington) mempraktikkan kepemimpinan transformasional untuk mengatasi ketegangan di tim sepak bola sekolah. Sebagai seorang pelatih sepak bola, Boone berhasil menginspirasi timnya di dalam dan di luar lapangan. Gaya kepemimpinan Boone mencerminkan komitmen terhadap kesetaraan dan tekad kuat untuk menyatukan timnya, yang awalnya terpecah. Ia menunjukkan ketahanan, integritas, serta kecerdasan emosional yang tinggi, sehingga mampu menciptakan lingkungan yang didasari oleh kepercayaan, rasa hormat, dan kebersamaan. Film ini memberikan banyak pelajaran tentang kepemimpinan, termasuk bagaimana sikap seorang pemimpin dapat memengaruhi tim dan membentuk kebersamaan. Kepemimpinan transformasional yang ditunjukkan oleh Herman Boone dalam film Remember the Titans juga sangat relevan dalam konteks kepemimpinan di bidang pendidikan. Seperti Boone yang berhasil menyatukan tim sepak bolanya yang terpecah, seorang pemimpin pendidikan—baik itu kepala sekolah, guru, atau pemimpin lembaga pendidikan—harus mampu menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana perbedaan dihargai dan seluruh komunitas sekolah dapat bekerja bersama demi tujuan bersama.
Di bidang pendidikan, pemimpin transformasional memegang peran penting dalam memotivasi guru, staf, dan siswa untuk mencapai potensi penuh mereka. Mereka tidak hanya berfokus pada pencapaian target akademik, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai seperti kesetaraan, rasa hormat, dan kebersamaan di antara semua pihak yang terlibat. Sebagaimana Boone menginspirasi timnya melalui keteguhan dan integritasnya, pemimpin pendidikan yang transformasional menginspirasi orang lain dengan visi yang kuat, motivasi yang mendalam, dan komitmen terhadap pengembangan personal dan profesional individu di sekolah.
Selain itu, kemampuan Boone dalam menciptakan lingkungan berbasis kepercayaan dan rasa hormat dapat diterapkan dalam pendidikan dengan cara membangun budaya sekolah yang positif. Pemimpin pendidikan perlu menggunakan kecerdasan emosional seperti Boone, untuk memahami kebutuhan individu, memberikan dukungan yang personal, serta menciptakan suasana kerja yang kolaboratif. Dengan demikian, para pemimpin pendidikan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dan semangat kolektif untuk mencapai tujuan pembelajaran yang lebih tinggi, seraya meningkatkan perkembangan karakter peserta didik.
Kepemimpinan Situasional di Tim Sepak Bola: Pep Guardiola dan Rudi_Berkah FC
Pada tahun 1969, Paul Hersey dan Ken Blanchard mengembangkan teori kepemimpinan situasional. Mereka berpendapat bahwa setiap situasi menuntut praktik kepemimpinan yang sesuai. Menurut mereka, tidak ada satu gaya kepemimpinan yang berlaku efektif dalam setiap situasi. Dengan kata lain, mereka menyatakan bahwa kepemimpinan harus fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kemampuan tim.
Dalam sepak bola, konsep situational leadership yang dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard diterapkan dengan baik oleh manajer Manchester City, Pep Guardiola. Dia terkenal karena kemampuannya menyesuaikan strategi berdasarkan situasi pertandingan. Guardiola mampu menjadi instruktif ketika tim membutuhkan arahan yang jelas, namun ia juga delegatif saat pemain-pemain bintangnya mampu berkreasi sendiri di lapangan. Gaya kepemimpinan Guardiola mencerminkan inti dari situational leadership, di mana arahan dan gaya kepemimpinan disesuaikan dengan situasi atau tugas yang dihadapi. Selain itu, dia secara aktif menjelaskan perkembangan tim dan menciptakan transparansi dan komunikasi yang efektif. Kepemimpinan Guardiola tidak hanya bersifat fleksibel, tetapi juga lebih demokratis, dengan mendistribusikan kekuasaan dan tanggung jawab kepada para pemainnya. Gaya ini juga dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan efektif lainnya seperti kepemimpinan visioner, komunikasi yang jelas, dan komitmen untuk terus belajar dan berkembang.
Bicara tentang sepak bola, di usia yang tak lagi muda, hobi saya bermain sepak bola tak lekang dimakan waktu. Seingat saya, terakhir kali 'merumput' di Lapangan Kayu Tangi adalah pada tahun 2000. Saat itu, secara tidak sengaja saya mencetak gol di final dan menghantarkan Tim FE Angkatan '95 menjuarai liga Fakultas Ekonomi ULM Banjarmasin. Selama bertahun-tahun, aktivitas sepak bola saya terhenti karena berbagai kesibukan: kerja dan studi lanjut. Namun, pada tahun 2023, keinginan untuk bermain sepak bola kembali menguat. Meski stamina tak lagi mendukung, dan kadang merasakan nyeri di kaki, melalui seorang kawan lama, Bang Amat, saya kembali merasakan euforia lapangan sepak bola Kayu Tangi Ujung.
Bergabung dengan Berkah FC merupakan kegembiraan besar bagi saya. Selain berolahraga, atmosfer di grup ini penuh kehangatan dan rasa persaudaraan yang sangat kuat. Di tim ini, saya mengenal Pak Rudi, kapten tim Berkah FC. Beliau adalah contoh pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan situasional dengan baik. Di lapangan, Beliau bersikap tegas, dan tidak bosan memberikan arahan kepada para pemain dengan jelas, terutama kepada pemain seperti saya yang masih membutuhkan bimbingan. Ini adalah praktik gaya directing yang diperlukan saat anggota tim belum sepenuhnya siap. Namun, di luar lapangan, Beliau berubah menjadi sosok yang ramah dan penuh kekeluargaan, sering mengajak anggota tim berkumpul sambil minum kopi, memperlihatkan gaya supporting untuk membangun hubungan yang erat dengan seluruh tim. Pak Rudi dengan cermat menentukan strategi permainan dan posisi pemain berdasarkan kemampuan masing-masing, memberi kesempatan pada semua anggota untuk bermain dan berkembang, bahkan bagi mereka yang masih dalam tahap belajar. Bagi anggota yang lebih siap, Beliau memberikan ruang dan kepercayaan untuk berkontribusi lebih besar di lapangan, menunjukkan gaya delegating, sementara bagi yang butuh bimbingan lebih lanjut, Beliau tetap memberikan arahan dan dukungan sesuai dengan gaya coaching. Fleksibilitas Pak Rudi dalam menyesuaikan gaya kepemimpinan berdasarkan situasi dan kesiapan pemain Berkah FC memperlihatkan kepemimpinan situasional yang efektif, menciptakan tim yang kompak dan terus berkembang.
Penerapan kepemimpinan situasional terbukti efektif dalam mengelola individu dengan berbagai tingkat kesiapan dan kebutuhan, seperti yang dicontohkan oleh Pep Guardiola dan Pak Rudi. Prinsip ini juga sangat relevan dalam konteks pendidikan, di mana pemimpin lembaga pendidikan perlu menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka berdasarkan kemampuan, motivasi, dan kebutuhan guru atau staf. Seorang pemimpin pendidikan harus mampu memberikan arahan yang jelas dan tegas kepada mereka yang masih memerlukan bimbingan, tetapi juga memberikan ruang bagi yang sudah “matang” untuk berkembang secara mandiri. Dengan mengadopsi gaya directing, coaching, supporting, dan delegating sesuai situasi, pemimpin pendidikan tidak hanya membantu pengembangan keterampilan dan kompetensi, tetapi juga membangun hubungan yang mendukung pertumbuhan emosional dan intelektual, dengan menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif dan inklusif.
Musik dan Kepemimpinan Kolaboratif: We Are the World
Dalam teori kepemimpinan modern, konsep kepemimpinan kolaboratif semakin penting. Raja Pop Michael Jackson dan Lionel Richie: vokalis grub musik The Commodore, pada tahun 1985 menciptakan lagu We Are the World. Karya mereka tersebut merupakan contoh simbol dari kekuatan kepemimpinan kolaboratif karena dinyanyikan 45 musisi yang berkolaborasi dalam USA for Africa, kelompok artis terkenal dari Amerika Serikat yang mengumpulkan dana untuk membantu rakyat Afrika. Di kelompok tersebut, tidak ada individu yang memimpin grup secara mutlak. Setiap musisi memainkan peran penting dalam menciptakan harmoni.
Dalam konteks kepemimpinan pendidikan, konsep kepemimpinan kolaboratif yang tercermin dalam lagu "We Are the World" sangat relevan karena menekankan pentingnya kerja sama berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama. Seperti para musisi dalam proyek tersebut yang berkontribusi tanpa ada satu individu yang mendominasi, kepemimpinan di sekolah juga harus terdistribusi, melibatkan kepala sekolah, guru, siswa, dan komunitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program. Dengan bekerja sama, setiap pihak berkontribusi sesuai keahlian masing-masing, menciptakan sinergi yang menghasilkan dampak lebih besar, baik dalam meningkatkan kualitas pendidikan maupun membangun lingkungan belajar yang inklusif dan dinamis, di mana semua anggota dapat berkembang dan berkontribusi secara optimal.
Kepemimpinan dalam pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman teori. Namun juga membutuhkan inspirasi untuk menerapkan konsep-konsep tersebut di dunia nyata. Film Remember the Titans mengajarkan kita tentang kekuatan transformasi melalui kepemimpinan yang penuh empati dan inspirasi, sementara dari sepak bola, manajer seperti Pep Guardiola dan Pak Rudi_Kapten Tim Berkah FC menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam gaya kepemimpinan. Lagu We Are the World memberikan pelajaran tentang pentingnya kolaborasi untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Kepemimpinan berdiskusi tentang seni mengelola manusia, situasi, dan tantangan yang terus berkembang. Pemimpin pendidikan yang sukses adalah mereka yang mampu menginspirasi, beradaptasi, berkolaborasi, dan memandu komunitas pendidikan menuju masa depan yang lebih baik.