Islam, agama yang saya anut, melarang umatnya gundah menghadapi persoalan hidup. Apalagi sampai terpikir bunuh diri. Itu dosa yang sangat besar. Saat hati gelisah karena masalah, kita harus semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berdoa. Ada banyak doa yang diajarkan Rasulullah SAW agar hati menjadi tenang, antara lain Doa Qurb, atau doa sapu jagat.

Saya menyukai indahnya alam. Apalagi pemandangan dari ketinggian. Walau kadang merasa ngeri bahkan takut jika medannya berbahaya. Jika dulu bersama kawan, kini saya lebih sering mendaki bersama anak-anak. Saya ke gunung bukan untuk mencari ketenangan atau mengusir kerisauan hati. Sebab hati yang resah sudah ada obatnya, doa. Bagi saya, lebih baik “ngombe kopi” plus gorengan di depan TV daripada ke gunung hanya untuk hilangkan “pusang”. Saya ke gunung, berletih ria, selain demi menikmati indahnya alam sekaligus berolahraga. Ketika tiba di puncak, kian menguat rasa syukur menyaksikan kebesaran Allah SWT melalui ciptaanNya yang indah, sekaligus mengingatkan betapa lemahnya diri di hadapan Sang Maha Pencipta.

Kemarin pagi, saya dan Rakha Abimanyu, Putra saya yang masih duduk di bangku kelas 2 MTs, mendaki gunung Budheg. Gunung nonaktif ini berada di Desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Dari ketinggian 585 meter di atas permukaan laut, kita bisa melihat melihat keindahan kota Tulungagung. Memutuskan mendaki gunung Budheg di hari minggu tampaknya sebuah keputusan yang tepat.

Ada kejadian menarik dalam pendakian. Hingga kini pun terus terkenang. Saya berjumpa seorang ayah yang membawa putra kecil mereka mendaki petilasan Kerajaan Majapahit ini. Sang ayah tampak bangga, putranya yang kira-kira berusia 5 tahun sudah kuat mendaki dan menuruni gunung. “Kuat tanpa digendong”, ujar Ayahnya saat berpapasan di lereng.
Akibat jalannya licin, mereka tergelincir. Saya bergegas meraih tangan si bocah. Jika tidak, mereka berdua bisa jatuh ke lereng gunung. “Lepaskan tangan sampeyan Pak”, ucapku seraya meraih lengan anaknya. Hampir saja, gumam saya dalam hati.

Mungkin kekhawatiran saya terlalu berlebihan, tetapi menurut pandangan saya, belum tepat mengajak anak berusia lima tahun mendaki gunung yang menanjak dan licin. Usianya masih terlalu muda, sedangkan risikonya terlalu besar. Kelihatannya sang ayah merasa dia mampu melindungi buah hatinya. Ia mungkin ingin melatih putranya agar tumbuh menjadi sosok yang tangguh dan pemberani. Namun, saya berasumsi lebih bijak bagi sang ayah menunda mendaki bersama anaknya tersebut dua tahun ke depan. Dengan begitu, mereka bisa benar-benar menikmati keindahan pemandangan di puncak gunung dengan aman dan nyaman.
Saya mengaitkan ini dengan praktik manajemen pendidikan. Menyerahkan tanggung jawab besar kepada seseorang yang belum memiliki kompetensi, kredibilitas, dan jiwa kepemimpinan serupa dengan mengajak anak kecil mendaki tanpa persiapan yang matang. Keputusan yang salah dalam manajemen pendidikan dapat mengancam keberlangsungan lembaga dan merugikan semua pihak yang terlibat.

Seorang pemimpin lembaga pendidikan harus mampu mengambil keputusan dengan tepat dan cepat, terutama dalam peran administratifnya. Pemimpin memegang peran kunci dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang efektif dan efisien. Keunggulan dalam pengambilan keputusan menjadi salah satu syarat utama bagi keberhasilan kepemimpinan. Dalam bukunya Administrative Behavior: A Study of Decision-Making Processes in Administrative Organization (1947), Herbert A. Simon menekankan bahwa pengambilan keputusan adalah inti dari administrasi.

Menghubungkan pengalaman mendaki dengan teori Herbert A. Simon mungkin terdengar seperti ilmu cocokologi, namun saya berharap tulisan ini tetap bermanfaat. Setidaknya, menginspirasi pembaca untuk memanfaatkan waktu luang dengan dua hal yang berharga: menikmati keindahan alam dan memperluas wawasan dengan membaca buku Administrative Behavior karya Herbert A. Simon.