Jepang terpaksa bertekuk lutut dihadapan Sekutu pasca dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar Hirohito, yang berkuasa pada masa itu, akhirnya memutuskan untuk menyerah setelah menyaksikan kehancuran dahsyat akibat serangan tersebut. Sang Kaisar khawatir Amerika Serikat dan sekutunya masih memiliki bom atom lain yang siap dijatuhkan. “Little Boy”, bom atom uranium, menghantam Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Bom ini memakan korban sekitar 70.000–146.000 jiwa. Kemudian pada 9 Agustus 1945, giliran bom plutonium bernama "Fat Man" dijatuhkan di Kota Nagasaki. Bom ini menewaskan sekitar 80.000 orang. Sebagian besar korban dari kedua serangan itu adalah warga sipil tak bersalah yang menjadi saksi bisu dari tragedi kemanusiaan yang mengerikan.
Meski porak-poranda akibat Perang Dunia II, Negeri Matahari Terbit mampu bangkit dengan cepat. Kini, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Shigeru Ishiba, Jepang telah menjelma menjadi negara kuat di bidang ekonomi. Dunia mengenal negara asal Doraemon ini sebagai penguasa teknologi canggih. Kereta berkecepatan tinggi, robot, teknologi informasi dan komunikasi, produk elektronik rumah tangga, hingga pembangunan infrastruktur menjadi deretan produk unggulan mereka.
Apa yang membuat Jepang mampu bangkit dengan cepat? Kuncinya terletak pada visi Kaisar Hirohito yang menomorsatukan pendidikan. Tampaknya, ia sangat percaya bahwa langkah pertama untuk membenahi negara yang hancur adalah dengan membangun sumber daya manusia terlebih dahulu. Keyakinan ini tercermin dari pertanyaan yang diajukannya sesaat setelah memutuskan untuk menyerah: “Berapa jumlah guru kita yang tersisa?”
Guru bukan pekerjaan biasa. Profesi ini menuntut keahlian khusus. Menurut KBBI, pekerjaan guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Ditilik dari bahasa Sanskerta, asal katanya. Kata guru terdiri dari dua suku kata, yakni "gu" dan "ru".Guru berati berarti bayangan, gelap, atau kegelapan, dan "Ru" berarti terang atau cahaya. Apabila keduanya digabungkan, maka makna guru adalah orang yang memberikan tuntunan dari gelap menuju cahaya, atau pembawa terang.
Menjadi guru sangat berat. Guru tidak hanya sekadar melaksanakan pekerjaan sebagaimana definisi menurut KBBI, tetapi juga harus bisa menjadi obor penerang yang memberi pencerahan kepada para muridnya. Terlebih lagi, jika merujuk arti kata guru dalam bahasa Jawa. Guru memiliki makna "digugu lan ditiru". "Digugu" berarti guru harus bisa bertanggung jawab atas setiap perkataan dan perbuatannya, sedangkan "ditiru" berarti guru harus dapat menjadi teladan bagi orang lain karena sikap dan perbuatannya yang terpuji.
Gigihnya perjuangan guru mencerdaskan anak bangsa membidani lahirnya generasi penerus yang mengambil peran penting dalam memajukan negara. Lirik lagu "Oemar Bakri" karya Iwan Fals, “Profesor, dokter, insinyur pun jadi” jelas bukan sekadar rangkaian kata tanpa makna. Lirik tersebut merupakan pengakuan sang maestro dari pengamatan panjang dan didukung oleh sederet bukti nyata tentang besarnya jasa seorang guru. Saya pun tanpa ragu sedikit pun sepakat bahwa guru adalah pilar utama bagi kokohnya suatu bangsa. Tanpa guru yang berdedikasi dan pendidikan yang bermutu, mustahil muncul generasi berkualitas yang mampu membawa bangsa menuju kejayaan.
Hari ini, Senin 25 November 2024, kita memperingati Hari Guru Nasional. Tema tahun ini sangat memikat: “Guru Hebat, Indonesia Kuat.” Tema ini menegaskan betapa pentingnya peran guru dalam membangun bangsa. Guru yang hebat adalah guru yang mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk kemajuan negara. Mereka berkontribusi mencerdaskan generasi penerus dengan penuh kesabaran, tanpa lelah membimbing, bersemangat menanamkan nilai-nilai luhur, dan tekun membekali murid-muridnya menghadapi tantangan zaman. Guru yang hebat memicu munculnya generasi yang cerdas, tangguh, berjiwa patriot, dan berakhlak mulia—generasi yang memiliki kompetensi dan daya saing untuk membawa Indonesia menuju kemajuan. Guru yang hebat adalah kunci yang akan menghantarkan Indonesia menjadi negara yang kuat.
Pada hari yang istimewa ini, izinkan saya menyampaikan ucapan Selamat Hari Guru Nasional. Semoga para guru di seluruh Indonesia selalu dalam lindungan Allah SWT, sehat dan bahagia penuh keberkahan. Saya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para guru saya semasa bersekolah dan berkuliah. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan, dan nilai-nilai kehidupan yang telah diajarkan kepada saya. Semoga jasa dan pengabdian Bapak dan Ibu senantiasa menjadi amal jariyah yang membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Saya juga memohon maaf dengan setulus hati atas segala kata, sikap, dan tingkah laku saya di masa sekolah dulu yang mungkin pernah menyakiti perasaan Bapak dan Ibu. Sungguh, hanya Allah Yang Maha Kuasa yang mampu membalas jasa mulia Bapak dan Ibu, jasa yang tak ternilai dan tak akan pernah saya lupakan.
Sebagai tambahan opini, saya menyadari bahwa mendidik generasi bukanlah tugas yang mudah. Selain mengajarkan pengetahuan, guru juga bertanggung jawab memberikan pencerahan kepada siswa. Dalam prosesnya, tentu saja ada potensi terjadinya kesalahpahaman. Mengingat peran sentral yang diemban guru, perlindungan terhadap mereka saat menjalankan tugas tampaknya perlu menjadi perhatian serius.
Sebagai manusia biasa, guru juga tidak terlepas dari kemungkinan melakukan tindakan yang dinilai tidak tepat. Namun, selama tindakan tersebut masih dalam konteks pembelajaran dan penegakan disiplin di sekolah, serta tidak menimbulkan cidera, cacat fisik, gangguan mental hingga membahayakan jiwa, penting kiranya ada undang-undang yang melindungi guru agar tidak dengan mudah dibawa ke meja hijau. Perlindungan ini tidak hanya menjaga martabat profesi guru, tetapi juga memastikan mereka dapat mendidik dengan tenang dan efektif demi mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas.