Bisa dibilang, saya salah satu penggemar film—meski tidak sampai masuk kategori pecandu. Kalau sedang bete, saya suka menikmati secangkir minuman sambil menonton film. Kadang di TV, kadang di bioskop. Mulai dari film lokal, Hollywood, sampai Bollywood, semua saya lahap. Tapi, paling sering saya nonton cuplikan film di YouTube. Gratis. Ada beberapa film yang berhasil membuat saya meneteskan air mata, terutama yang berkisah tentang cinta dan keluarga—jenis cerita yang paling sulit saya tahan. Partner nonton saya sering terbahak-bahak melihat saya begini. “Cengeng,” katanya, “nonton film saja sampai nangis!”Mungkin saya memang terlalu terbawa suasana. Rasanya, alur cerita yang dirangkai sutradara dan penulis naskah selalu berhasil menyentuh emosi saya.
Selain film bergenre romantis, action, dan horor, saya juga menyukai film perang, terutama yang berlatar belakang Sejarah/ mitologi. Film dengan adegan baku tembak atau pertarungan sengit selalu menarik perhatian saya. Beberapa film perang yang membekas dalam ingatan antara lain Taegukgi dan All Quiet on the Western Front. Sementara itu, film dengan suara gemerincing pedang dan tombak beradu seperti Troy, Uprising, dan War of the Arrows juga sangat berkesan. Masih banyak judul lainnya yang tak kalah seru.
Kali ini, saya ingin bercerita sedikit tentang salah satu film perang yang menurut saya sangat layak ditonton. Film ini berhasil membuat saya berdecak kagum karena kemampuan para pemain dalam memerankan karakter, dan alur ceritanya pun sangat memikat. Judulnya Troy (2004). Selain menyajikan pertempuran epik, menurut saya, film ini juga mengandung pesan menarik yang bisa dikaitkan dengan manajemen kepemimpinan.
Achilles, diperankan oleh Brad Pitt, dikenal sebagai pahlawan besar dalam Perang Troya, terkenal karena kekuatan dan keterampilan luar biasa di medan pertempuran. Sebelum memutuskan untuk bergabung dalam perang tersebut, Achilles menemui ibunya, Thetis, seorang bidadari laut. Di tengah percakapan itu, Thetis memberikan nasihat penting yang penuh makna.
Sambil menatap putranya dengan perasaan haru, ia berkata:
“If you stay in Larissa, you will find peace. You will find a wonderful woman, and you will have sons and daughters, who will have children. And they'll all love you and remember your name. But when your children are dead, and their children after them, your name will be forgotten... If you go to Troy, glory will be yours. They will write stories about your victories in thousands of years! And the world will remember your name. But if you go to Troy, you will never come back... for your glory walks hand-in-hand with your doom. And I shall never see you again”
Thetis, ibu Achilles, mengatakan bahwa jika putranya menginginkan hidup yang damai dan panjang umur, ia sebaiknya tetap tinggal di Larissa, kampung halamannya. Namun, Thetis mengingatkan bahwa seiring berjalannya waktu, namanya akan terlupakan. Sebaliknya, jika Achilles memutuskan untuk pergi ke Troya, ia akan memperoleh kejayaan abadi—namanya akan dikenang sepanjang masa. Namun, pilihan itu datang dengan risiko besar: nyawanya akan berakhir di medan perang.
Pilihan ini memberikan kesan bahwa keterlibatan Achilles dalam Perang Troya bukanlah demi kesetiaan pada Agamemnon, Raja Yunani, melainkan demi mencapai ketenaran abadi. Achilles lebih tertarik meninggalkan jejak sejarah yang tak lekang oleh waktu daripada tunduk pada ambisi politik Agamemnon.
Achilles digambarkan sebagai sosok pemberani, salah satu prajurit terhebat dan pahlawan terbesar dalam Perang Troya. Di medan pertempuran, ia hampir tak terkalahkan. Pada awal cerita, Achilles dengan mudah menumbangkan lawannya dalam duel dengan kecepatan yang mengesankan. Ia juga menunjukkan keberaniannya saat mendatangi Istana Raja Priam dan menantang Hector, Pangeran Troya, untuk duel satu lawan satu. Pendek kata, Achilles adalah sosok prajurit ideal—sangat kompeten, tangguh, dan karismatik.
Namun, Achilles tidak menghormati kepemimpinan Agamemnon. Ia tidak mempercayai Raja Yunani itu, merasa dirinya diperalat demi ambisi pribadi Agamemnon untuk memperluas kekuasaan dan kejayaan kerajaannya. Achilles menganggap Agamemnon terlalu mendominasi, tanpa menghargai kebebasan dan potensi individu. Terlebih lagi, tampaknya Agamemmnon iri dengan ketenaran Achilles di kalangan barisan pasukan Yunani. Kurangnya kepercayaan ini berdampak buruk bagi pasukan Yunani. Achilles memutuskan untuk mundur dan kembali pulang, enggan bertempur, hingga akhirnya keputusan itu membawa malapetaka: sepupunya, Patroclus, tewas di tangan Hector saat mencoba menggantikannya di medan perang.
Kembalinya Achilles ke medan pertempuran bukan karena kekalahan pasukan Yunani, tetapi demi membalaskan kematian Patroclus. Ini menunjukkan bahwa bagi Achilles, pertempuran bukan tentang kesetiaan kepada Agamemnon atau Yunani, melainkan demi kepentingan pribadi dan balas dendamnya. Keputusan ini semakin memperkuat kesan bahwa bagi Achilles, perang adalah sarana untuk memuaskan ambisi dan emosi pribadinya, bukan demi tujuan kolektif.
Buruknya hubungan antara Achilles dan Agamemnon berakar pada sikap keduanya. Agamemnon adalah sosok pemimpin yang otoriter, ambisius, dan tidak menghargai bawahan yang berjuang bersamanya. Sementara itu, Achilles tidak memercayai Agamemnon dan merasa dirinya hanya diperalat demi ambisi pribadi sang Raja. Oleh karena itu, Achilles kehilangan rasa hormat terhadap kepemimpinan Agamemnon. Keduanya gagal membangun rasa saling menghormati dan berkomunikasi dengan sehat. Mereka lebih mengutamakan ego masing-masing daripada bekerja sama demi tujuan bersama. Ketegangan ini meretakkan koalisi pasukan Yunani dan pada akhirnya memperlemah kekuatan mereka dalam menghadapi Troya.
Kepemimpinan tidak hanya relevan dalam konteks perang seperti dalam Troy, tetapi juga sangat penting dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Iseng-iseng, saya mencoba mengaitkan film Troy dengan materi manajemen pendidikan, terutama dalam aspek kepemimpinan. Seorang pemimpin lembaga pendidikan harus mampu menghargai kompetensi individu—baik itu guru, dosen, maupun siswa—dan tidak hanya menjadikan mereka alat untuk mencapai target institusi. Kepemimpinan yang mengabaikan potensi dan kemampuan individu, seperti yang dipraktikkan oleh Agamemnon, rentan menimbulkan konflik, menurunkan motivasi, dan melemahkan loyalitas bawahan. Dalam konteks pendidikan, pemimpin yang bijak akan mampu mengurangi konflik dan menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif, di mana setiap individu merasa dihargai dan didukung. Untuk mencapai itu, pemimpin lembaga pendidikan perlu membangun kolaborasi dengan semua pihak terkait, termasuk staf pengajar, tata usaha, komite sekolah, dan pemangku kepentingan lainnya. Kolaborasi ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama, sekaligus menjaga semangat kerja dan rasa kebersamaan di lingkungan pendidikan.
Belajar dari tim Berkah FC, kesuksesan seorang striker dalam menyarangkan bola ke gawang lawan adalah keberhasilan tim secara keseluruhan, bukan sekadar kebahagiaan pribadi sang pencetak gol yang berhasil mencatatkan namanya di papan skor. Jika terjadi gesekan di antara pemain, kapten tim akan segera bertindak untuk meredam konflik dan memulihkan kekompakan agar tim tetap solid—dan selalu solid.
Seperti dalam tim sepak bola, keberhasilan lembaga pendidikan juga bergantung pada kolaborasi seluruh elemen yang dipimpin. Pimpinan harus mampu menghargai setiap bawahan dengan memberikan apresiasi dan penghargaan atas pencapaian mereka, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kemajuan sekolah. Selain itu, pemimpin harus menciptakan lingkungan yang kondusif dan mendorong kolaborasi di antara semua elemen yang dipimpinnya agar tujuan bersama sekolah dapat tercapai dengan baik.